Kerukunan
adalah sikap saling menghargai, menghormati antara yang satu dengan yain lain,
dimana tidak ada rasa iri atau fanatik terhadap sesama. Semua manusia
menginginkan adanya rasa saling menghormati antara satu dengan yang lain.
Namun, tidak semua manusia melakukan atau mencari cara untuk mewujudkannya,
sehingga untuk menciptakan rasa saling menghormati atau kerukunan dalam suatu
masyarakat sulit di wujudkan.
Kerukunan umat beragama berarti
adanya saling menghargai dan saling menghormati antara agama satu dengan agama
lainnya, tidak fanatik, dan saling berhubungan atau bekerja sama demi
terciptanya suasana yang baik antar umat beragama.
Dalam tahun-tahun belakangan ini semakin banyak
didiskusikan mengenai kerukunan hidup beragama. Diskusi-diskusi ini sangat
penting, bersamaan dengan berkembangnya sentimen-sentimen keagamaan, yang
setidak-tidaknya telah menantang pemikiran teologi kerukunan hidup beragama itu
sendiri, khususnya untuk membangun masa depan hubungan antaragama yang lebih
baik, lebih terbuka, adil dan demokratis. Untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat luas.
Kita semua tahu, bahwa masalah hubungan antaragama di
Indonesia belakangan ini memang sangat kompleks. Banyak kepentingan ekonomi,
sosial dan politik yang mewarnai ketegangan tersebut. Belum lagi agama sering
dijadikan alat pemecah belah atau disintegrasi, karena adanya konflik-konflik
di tingkat elite dan militer.
Selama ini teologi dianggap sebagai ilmu dogmatis,
karena menyangkut masalah akidah, sehingga itu tidaklah perlu dibicarakan apalagi
dalam hal antaragama. Sehingga terkesan teologi sebagai ilmu yang tertutup, dan
menghasilkan masyarakat beragama yang tertutup. Padahal iklim masyarakat global
dan pascamodern dewasa ini lebih bersifat terbuka dan pluralistis.
Memang, dalam sejarah telah lama berkembang doktrin
mengenai eksklusivitas agama sendiri: Bahwa agama sayalah yang paling benar,
agama lain sesat dan menyesatkan. Pandangan semacam ini masih sangat kental,
bahkan sampai sekarang, seperti termuat dalam tidak hanya buku-buku polemis,
tetapi juga buku ilmiah.
Rumusan dari Ajith Fernando, teolog kontemporer
misalnya masih menarik untuk diungkapkan di sini. Katanya "Other religions
are false paths, that mislead their followers" (Agama lain adalah jalan
sesat, dan menyesatkan pengikutnya). Ungkapan Ajith Fernando ini memang sangat
keras dan langsung tergambar segi keesklusivitasannya. Dan yang menjadikan kita
kaget adalah Kitab Suci ternyata dianggapnya membenarkan hal tersebut.
Pandangan eksklusif seperti itu memang bisa
dilegitimasikan atau tepatnya dicarikan legitimasinya lewat Kitab Suci. Tetapi
itu bukan satu-satunya kemungkinan. Sebagai contoh, dalam tradisi Katolik,
sejak Konsili Vatikan II (1965), sudah jelaslah bahwa pandangan menjadi sangat
terbuka ke arah adanya kebenaran dan keselamatan dalam agama-agama
non-Kristiani.
Kembali pada teologi eksklusif di atas, begitulah,
kita baik kaum Muslim maupun umat Kristen telah mewarisi begitu mendalam
teologi eksklusif yang rumusan inti ajarannya adalah--seperti ditulis oleh
filsuf agama terkemuka Alvin Plantiga "the tenets of one religions are in
fact true; any propositions that are incompatible with these tenets are
false" atau John Hick, "The exclusivivits think that their
description of God is the true description and the others are mistaken insofar
they differ from it."
Karena pandangan tersebut, maka mereka menganggap
bahwa hanya ada satu jalan keselamatan: yaitu agama mereka sendiri. Pandangan
ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter.
Oleh karena itulah diperlukan suatu perspektif baru
dalam melihat "Apa yang dipikirkan oleh suatu agama, mengenai agama lain
dibandingkan dengan agama sendiri" Perspektif ini akan menentukan apakah
seorang beragama itu menganut suatu paham keberagamaan yang eksklusif, inklusif
atau pluralis.
Menganut suatu teologi eksklusif dalam beragama bukan
hal yang sulit. Karena secara umum, sepanjang sejarah sebenarnya kebanyakan
orang beragama secara eksklusif. Kalau ukurannya adalah Konsili Vatikal II,
maka baru sejak 1965 lah secara resmi ada usaha-usaha global untuk memulai
perkembangan teologi ke arah yang inklusif. Dan baru belakangan ini saja
berkembang teologi yang lebih pluralis yang lebih merentangkan inklusivitas ke
arah pluralis dengan menekankan lebih luas sisi yang disebut paralelisme dalam
agama-agama--yang digali lewat kajian teologi agama-agama.
Teologi pluralis melihat agama-agama lain dibanding
dengan agama-agama sendiri, dalam rumusan: Other religions are equally valid
ways to the same truth (John Hick); Other religions speak of different but
equally valid truths (John B Cobb Jr); Each religion expresses an important
part of the truth (Raimundo Panikkar); atau setiap agama sebenarnya
mengekspresikan adanya The One in the many (Sayyed Hossein Nasr). Di sini jelas
teologi pluralis menolak paham eksklusivisme, sebab dalam eksklusivisme itu ada
kecenderungan opresif terhadap agama lain.
Dari beberapa uraian diatas dapat di ambil kesimpulan
bahwa:
1.
Untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama
pertama-tama kita mulai dari diri kita sendiri.
2.
Kita harus bisa menerima agama lain dengan apa adanya.
3.
Kita jangan menutup diri terhadap agama lain.
4.
Kita jangan fanatik, atau menganggap bahwa agama kita
yang paling benar, serta jangan menganggap agama lain sebagai agama penyesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar